Sejarahnya, pada masa penjajahan Belanda dulu, di hari pertama pengerjaan proyek pembuatan jalan pos Anyer-Panarukan, banyak budak pribumi baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja hanya mengenakan semacam cawat. Sedangkan bagian atas tubuh, mulai dari pusar hingga ke leher, telanjang.
Mandor yang bertugas di tempat saat itu, Don Lopez comte de Paris -kaki tangan Daendels yang berkebangsaan Prancis- merasa risih melihat keadaan ini. Ahirnya, ia memotong-motong suatu kain putih dan memberikannya kepada salah satu budak perempuan. Sambil memberikan kain tersebut pada si budak, dia mengatakan,”Tutup bagian berharga itu”. Don Lopez berbicara dalam bahasa Prancis ketika mengatakan hal itu. Dalam bahasa Prancis, berharga adalah coutant.
Budak perempuan itu tidak mengerti mengapa ia diberi kain putih, karena perempuan bertelanjang dada adalah hal yang biasa pada masa itu. Don Lopez yang merasa jengkel, lalu menunjuk-nunjuk payudara budak tersebut sambil terus-menerus mengatakan “Coutant! Coutant!“. Budak-budak pribumi yang melihat keadaan tersebut ahirnya mengerti bahwa kain putih itu dimaksudkan untuk menutup payudara wanita. Dan dalam pemahaman mereka, kain putih yang dipakai untuk menutup payudara itu namanya adalah coutant. Atau, dalam ejaan Indonesia, kutang.
Sejak saat itu, lahirlah entri baru dalam bahasa rakyat, yaitu “kutang” yang bermakna kain pembungkus payudara. Sungguh berbeda dengan kata aslinya dalam bahasa Prancis “coutant” yang bermakna berharga!
No comments:
Post a Comment