JAKARTA -
Jumlah perokok usia remaja di Indonesia terus meningkat. Secara
keseluruhan, Indonesia menempati peringkat tiga di dunia sebagai jumlah
perokok terbanyak. Celakanya, di Indonesia hingga kini menunjukkan tren
peningkatan jumlah perokok dari kalangan remaja.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi perokok remaja pada tahun lalu naik menjadi 19 persen. Angka tersebut naik drastis jika dibandingkan data serupa pada peridoe sebelum 1995. Data tersebut juga menunjukkan, karakrer perokok Indonesia yang biasanya sudah mulai menghisap tembakau pada usia 14-19 tahun.
"Sejak 1995 ada peningkatan jumlah remaja perokok yang dramatis. Ini sangat memprihatinkan," terang Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama di kantor pusat Muhammadiyah, Senin (14/11).
Menurut Yoga, kecenderungan tersebut akan disikapi dengan perumusan peraturan pemerintah tentang merokok. Peraturan tersebut merujuk pada UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Karena itu, Kementerian Kesehatan akan merumuskan lagi aturan dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 dalam rumusan peraturan pemerintah yang akan memperketat lagi peraturan tentang rokok. Pengetatan tersebut diharapkan mampu menekan laju pertambahan jumlah perokok pemula di Indonesia yang kini jumlahnya hanya kalah oleh Tiongkok dan India. Jumlah perokok Indonesia tahun lalu bertengger di peringkat ke lima di bawah Tiongkok, India, Rusia, dan Amerika Serikat.
Data Kemenkes menunjukkan, dari 2000 sampai tahun lalu jumlah perokok juga makin melebar di kalangan perempuan. Empat persen dari total jumlah perokok Indonesia adalah kalangan hawa. Berdasarkan data dari badan kesehatan dunia di bawah PBB, WHO, jumlah perokok di Indonesia tiap tahunnya mencapai 400 ribu orang.
Dari hitung-hitungan itu, diperkirakan setiap hari terdapat 65 juta warga negara Indonesia yang merokok setiap hari. Angka tersebut terus menunjukkan kecenderungan peningkatan mengingat aturan ketat menghisap tembakau masih dianggap longgar untuk mencegah munculnya perokok baru.
Di tempat sama, sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasojo menambahkan, pengaruh iklan terhadap ketertarikan merokok menjadi salah satu faktor tetap tingginya angka perokok di Indonesia. Menurut dia, pembatasan-pembatasan iklan rokok yang kini berlaku di Indonesia masih belum ketat dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Pembatasan iklan rokok dinilai menjadi penting untuk mencegah mereka yang bukan perokok tertarik untuk mencoba tembakau bakar. "Iklan rokok membabi buta hingga siapa saja bisa mendapatkan informasi tentang rokok," kata Imam.
Akademisi berkacamata ini menyebut, ada kecenderungan para produsen rokok juga mulai membidik kalangan perempuan sebagai target pasar. Produk rokok baru berbentuk ramping dengan kemasan kotak mirip bungkus lipstik. Kecenderungan produsen rokok membidik kalangan perempuan dinilai bisa mengatrol angka perokok perempuan yang kini masih menjadi minoritas pada deret angka jumlah perokok Indonesia.
Sementara itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penyertaan gambar peringatan dalam kemasan rokok mulai mencemaskan sejumlah produsen rokok. Pasalnya, putusan uji materi Pasal 113 ayat (1), (2) dan (3) UU Kesehatan 36/2009, maupun uji materi Pasal 113 ayat (2), 114 beserta Penjelasannya dan Pasal 199 ayat (1) itu dinilai akan menghambat perusahaan rokok.
Demikian diungkapkan Ketua DPP Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Wisnu Brata. Menurut dia, dengan keputusan tersebut, cepat atau lambat akan berdampak pada matinya tradisi pembuatan rokok kretek, terutama Sigaret Kretek Tangan (SKT).
"Kami melihat putusan MK itu hanya melihat dimensi kesehatan dan memperhatikan aspek hukum, tanpa mempertimbangkan aspek kesejahteraan petani tembakau, aspek ekonomi, sosial, dan budaya yang dampaknya luar biasa," ujarnya dalam diskusi Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) di Warung Daun, kemarin (14/11).
Dalam putusannya, MK menolak permohonan pengujian Pasal 113 tentang pengamanan zat adiktif dan mengabulkan sebagian dari pengajuan pasal 114 tentang peringatan kesehatan serta penjelasannya dengan menghilangkan kata "dapat". Dengan putusan itu, maka setiap kemasan rokok diwajibkan menyertakan gambar yang mencerminkan dampak rokok bagi kesehatan.
Terkait keputusan tersebut, kata Wisnu, pihaknya menilai MK hanya melihat dan mempertimbangkan dari sisi sempit yakni kesehatanya saja, tidak melihat aspek yang lebih luas serta dampak yang akan ditimbulkan dari putusan tersebut. Sehingga, pihaknya merasa putusan itu mencederai rasa keadilan bagi industri kretek kecil dan para petani tembakau.(Ari.rm)
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi perokok remaja pada tahun lalu naik menjadi 19 persen. Angka tersebut naik drastis jika dibandingkan data serupa pada peridoe sebelum 1995. Data tersebut juga menunjukkan, karakrer perokok Indonesia yang biasanya sudah mulai menghisap tembakau pada usia 14-19 tahun.
"Sejak 1995 ada peningkatan jumlah remaja perokok yang dramatis. Ini sangat memprihatinkan," terang Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama di kantor pusat Muhammadiyah, Senin (14/11).
Menurut Yoga, kecenderungan tersebut akan disikapi dengan perumusan peraturan pemerintah tentang merokok. Peraturan tersebut merujuk pada UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Karena itu, Kementerian Kesehatan akan merumuskan lagi aturan dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 dalam rumusan peraturan pemerintah yang akan memperketat lagi peraturan tentang rokok. Pengetatan tersebut diharapkan mampu menekan laju pertambahan jumlah perokok pemula di Indonesia yang kini jumlahnya hanya kalah oleh Tiongkok dan India. Jumlah perokok Indonesia tahun lalu bertengger di peringkat ke lima di bawah Tiongkok, India, Rusia, dan Amerika Serikat.
Data Kemenkes menunjukkan, dari 2000 sampai tahun lalu jumlah perokok juga makin melebar di kalangan perempuan. Empat persen dari total jumlah perokok Indonesia adalah kalangan hawa. Berdasarkan data dari badan kesehatan dunia di bawah PBB, WHO, jumlah perokok di Indonesia tiap tahunnya mencapai 400 ribu orang.
Dari hitung-hitungan itu, diperkirakan setiap hari terdapat 65 juta warga negara Indonesia yang merokok setiap hari. Angka tersebut terus menunjukkan kecenderungan peningkatan mengingat aturan ketat menghisap tembakau masih dianggap longgar untuk mencegah munculnya perokok baru.
Di tempat sama, sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasojo menambahkan, pengaruh iklan terhadap ketertarikan merokok menjadi salah satu faktor tetap tingginya angka perokok di Indonesia. Menurut dia, pembatasan-pembatasan iklan rokok yang kini berlaku di Indonesia masih belum ketat dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Pembatasan iklan rokok dinilai menjadi penting untuk mencegah mereka yang bukan perokok tertarik untuk mencoba tembakau bakar. "Iklan rokok membabi buta hingga siapa saja bisa mendapatkan informasi tentang rokok," kata Imam.
Akademisi berkacamata ini menyebut, ada kecenderungan para produsen rokok juga mulai membidik kalangan perempuan sebagai target pasar. Produk rokok baru berbentuk ramping dengan kemasan kotak mirip bungkus lipstik. Kecenderungan produsen rokok membidik kalangan perempuan dinilai bisa mengatrol angka perokok perempuan yang kini masih menjadi minoritas pada deret angka jumlah perokok Indonesia.
Sementara itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penyertaan gambar peringatan dalam kemasan rokok mulai mencemaskan sejumlah produsen rokok. Pasalnya, putusan uji materi Pasal 113 ayat (1), (2) dan (3) UU Kesehatan 36/2009, maupun uji materi Pasal 113 ayat (2), 114 beserta Penjelasannya dan Pasal 199 ayat (1) itu dinilai akan menghambat perusahaan rokok.
Demikian diungkapkan Ketua DPP Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Wisnu Brata. Menurut dia, dengan keputusan tersebut, cepat atau lambat akan berdampak pada matinya tradisi pembuatan rokok kretek, terutama Sigaret Kretek Tangan (SKT).
"Kami melihat putusan MK itu hanya melihat dimensi kesehatan dan memperhatikan aspek hukum, tanpa mempertimbangkan aspek kesejahteraan petani tembakau, aspek ekonomi, sosial, dan budaya yang dampaknya luar biasa," ujarnya dalam diskusi Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) di Warung Daun, kemarin (14/11).
Dalam putusannya, MK menolak permohonan pengujian Pasal 113 tentang pengamanan zat adiktif dan mengabulkan sebagian dari pengajuan pasal 114 tentang peringatan kesehatan serta penjelasannya dengan menghilangkan kata "dapat". Dengan putusan itu, maka setiap kemasan rokok diwajibkan menyertakan gambar yang mencerminkan dampak rokok bagi kesehatan.
Terkait keputusan tersebut, kata Wisnu, pihaknya menilai MK hanya melihat dan mempertimbangkan dari sisi sempit yakni kesehatanya saja, tidak melihat aspek yang lebih luas serta dampak yang akan ditimbulkan dari putusan tersebut. Sehingga, pihaknya merasa putusan itu mencederai rasa keadilan bagi industri kretek kecil dan para petani tembakau.(Ari.rm)
No comments:
Post a Comment